Kebolehan berpoligami dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari dasar filosofis hukumnya yaitu merealisasikan kemaslahatan hidup manusia, karena pada dasarnya kebolehan tersebut sangat terkait dengan pemenuhan kewajiban untuk berlaku adil kepada para isteri. Hal ini sesungguhnya sudah ditegaskan oleh para ulama klasik sebagaimana yang terdapat dalam referensi keislaman walaupun dengan pendekatan lughawi, yang kemudian dielaborasikan lebih jauh oleh para ulama modern dengan pendekatan yang lebih holistik dan komprehensif dengan memasukkan alasan sosiologis dan psikologis dalam mempertimbangkan realitas praktik kebolehan poligami selama ini.
Secara umum perilaku poligami dalam Masyarakat Banjar lebih banyak didasarkan kepada aturan fikih, bukan aturan negara. Itulah sebabnyamayoritas praktik poligami dilakukan secara tidak tercatat yang justru lebih banyak melahirkan problem hukum dalam perkawinan seperti tidak terpenuhinya hak hukum yang sama di antara para isteri, distribusi nafkah materi dan pembagian waktu yang berbeda hingga tindak kekerasan baik secara fisik, verbal, maupun psikologis. Padahal perilaku berpoligami tersebut sangat jauh dari nilai dan moral kebolehan berpoligami yang terdapat dalam Islam yang menjadi identitas etnik dari Masyarakat Banjar.