Oleh Arys Hilman Nugraha (Ketua Umum Ikapi)
Beberapa waktu lalu, Perpustakaan Nasional RI (PNRI) sebagai lembaga pengelola ISBN di Indonesia, membatasi pengajuan ISBN (International Standard Book Number). Hal tersebut karena International ISBN Agency yang berpusat di London memberikan peringatan tentang ketidakwajaran pengajuan ISBN di Indonesia. Cukup banyak penerbit yang mengeluhkan jangka waktu pengurusan ISBN yang lebih lama dari biasanya.
Meskipun saat ini pengurusan ISBN sudah berangsur normal, tak ada salahnya mengingatkan kembali bahwa ISBN bukanlah untuk gengsi. Mengapa demikian? Mari kita bahas.
Jatah ISBN yang Semakin Berkurang
Menurut PNRI, Indonesia mendapatkan block number atau nomor khas blok ISBN dari International ISBN Agency sebanyak 1 juta dalam periode tertentu. Block number 978-979 sebanyak 1 juta ISBN, habis selama 18 tahun (1986-2003). Kemudian, block number 978-602 juga sejumlah 1 juta ISBN, telah digunakan selama 15 tahun (2003-2018). Selanjutnya Indonesia kembali diberikan block number 978-623 sebanyak 1 juta ISBN. Namun, belum 4 tahun, block number tersebut telah digunakan sebanyak 623.000. Sehingga, hanya tersisa 377.000 ISBN. Inilah yang menyebabkan Indonesia mendapat peringatan dari International ISBN Agency.
International ISBN Agency menduga ada ketidakwajaran pengajuan ISBN di Indonesia. Terlalu banyak publikasi yang disebut buku sebenarnya bukan termasuk buku. Selain itu, banyak publikasi berupa buku yang sebenarnya tidak relevan diberi ISBN. Sebagai contoh, buku yang diterbitkan oleh sekolah atau universitas.
Terdapat kebijakan yang menetapkan bahwa guru, mahasiswa, dosen, dan peneliti, masing-masing harus menulis buku sebagai bagian dari pekerjaan pendidikan mereka, baik di sekolah maupun di universitas. Kebijakan tersebut antara lain: Peraturan LIPI No. 14/2018, Pedoman Operasional PAK, dan Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen Hal ini boleh saja, tapi bukan berarti buku-buku ini harus ber-ISBN. ISBN hanya untuk buku-buku yang benar-benar diterbitkan melalui rantai pasokan buku dan tersedia untuk umum.
Di Inggris, sebagian besar mahasiswa harus menulis tesis dan terkadang buku. Namun publikasi ini biasanya hanya untuk kalangan mereka. Publikasi tersebut tidak diterbitkan sehingga tidak memerlukan ISBN dan tidak akan menerima ISBN. ISBN tidak boleh diberikan hanya untuk alasan gengsi—peneliti mungkin menginginkan ISBN karena memiliki ISBN membantu membuat publikasi tampak lebih profesional. Tetapi itu bukanlah pembenaran yang dapat diterima untuk memberikan ISBN pada sebuah buku yang tidak memenuhi syarat.
Selain ISBN untuk publikasi penelitian, mengutip penjelasan PNRI, lonjakan penggunaan ISBN dicurigai karena banyak publikasi yang tidak relevan diberi ISBN. Pada tahun 2015, Ikapi pernah membuat laporan riset produksi judul buku di Indonesia berdasarkan data ISBN. Kesimpulannya, rata-rata buku terbit di Indonesia adalah 30.000 judul per tahun. Namun, pada tahun 2020, buku ber-ISBN melonjak hingga mencapai 144.793 judul dan pada tahun 2022 sebanyak 63.398 judul. Memang, lonjakan buku ber-ISBN seperti tersebut di atas, merupakan efek langsung dari pertumbuhan penerbit baru yang pesat beberapa tahun belakangan. Hanya saja, kecurigaan bahwa banyak publikasi yang tidak relevan diberi ISBN, cukup beralasan.
Mengenali Publikasi yang Tak Memerlukan ISBN
Untuk mengatasi lonjakan ISBN yang tidak wajar, para penerbit, lembaga, dan masyarakat perlu mengetahui publikasi yang tidak memerlukan ISBN. Secara umum terbagi dua, yakni buku produk lembaga dan buku produk perguruan tinggi. Berikut ini rinciannya.
Buku Produk Lembaga
- Laporan lembaga
- Laporan kegiatan
- Laporan hasil penelitian
- Karya tulis ilmiah (KTI)
- Book chapter
- Policy brief
- Bunga rampai
- Orasi ilmiah
- Prosiding hasil pertemuan/seminar
- Terbitan BPS
Buku Produk Perguruan Tinggi
- Buku ajar
- Modul
- Petunjuk praktikum
- Diktat
- Book chapter
- Policy brief
- KTI: referensi, monograf
- Tugas mahasiswa
- Hasil kuliah kerja nyata (KKN)
- Orasi ilmiah pengukuhan guru besar
- Skripsi, tesis, disertasi
- Hasil penelitian yang didiseminasikan: prosidfing hasil pertemuan/seminar
Selain mengetahui publikasi yang tidak memerlukan ISBN, mengutip penjelasan PNRI, para penerbit, lembaga, dan institusi perlu mengetahui syarat mendapatkan ISBN. Pertama, ISBN hanya untuk produk yang layak dan memerlukan.
Para penerbit perlu diberi pemahaman bahwa mereka menggunakan ISBN untuk produk yang layak dan bahwa mereka memang benar-benar memerlukan ISBN. Kita perlu yakin bahwa hanya penerbitlah (bukan percetakan atau toko buku) yang mendapatkan ISBN. Kita harus berusaha memastikan bahwa semua kewajiban serah simpan telah dipenuhi atas penerbitan ISBN sebelumnya.
Kedua, prefiks milik bersama. Dengan konsep ini, ISBN dibagikan kepada beberapa penerbit. Hal ini untuk menghindari keharusan penerbit untuk menggunakan 10 ISBN. Sebab, banyak penerbit memproduksi buku kurang dari 10 judul, sehingga sebagian ISBN menjadi sia-sia.
Ketiga, buku harus untuk konsumsi umum. Untuk memenuhi syarat ISBN, buku harus tersedia untuk umum. Buku-buku tersebut dapat tersedia secara gratis atau dengan harga tertentu, tetapi tetap harus tersedia untuk umum. Jika publikasi hanya tersedia dari satu sumber pasokan—misalnya satu situs web—maka tidak ada banyak keuntungan bagi penerbit untuk memiliki ISBN, karena hanya tersedia dari satu tempat. Buku-buku jenis ini tidak dilarang ber-ISBN, tetapi hanya sedikit manfaatnya. Jika penerbitharus memenuhi syarat dalam beberapa hal untuk mendapatkan publikasi—misalnya publikasi hanya tersedia untuk anggota klub tertentu atau hanya untuk siswa di sekolah tertentu, maka publikasi tidak boleh diberikan ISBN. Publikasi tersebut tidak tersedia untuk umum, sehingga tidak memenuhi syarat untuk ISBN.
Regulasi Baru untuk Pengurusan ISBN
Untuk menjaga kualitas dan keberlangsungan layanan ISBN di Indonesia, serta menindaklanjuti peringatan dari International ISBN Agency, PNRI menerapkan regulasi baru dalam pengurusan ISBN. Pertama, terkait registrasi penerbit. Regulasi baru tersebut di antaranya, bukti legalitas penerbit harus benar-benar bergerak di bidang penerbitan buku. Penerbit juga harus memiliki situs web resmi yang aktif dan dapat diakses. PNRI juga memberlakukan shared prefix dan single account, serta format baru dalam Katalog Dalam Terbitan (KDT) yang telah disinkronisasi.
Kedua, terkait registrasi ISBN. Beberapa aturan baru di antaranya: penerbit harus menyertakan dummy lengkap (anatomi buku, cantuman kepengarangan/perorangan/komunitas, dll.), surat pernyataan otentisitas/keaslian karya, buku yang sedang diurus ISBN-nya harus terdaftar pada situs web penerbit sebagai buku akan terbit serta tercantum pada marketplace lainnya, dan buku tersebut dapat diakses baik onsite maupun online.
Semoga peringatan dari International ISBN Agency yang ditindaklanjuti oleh PNRI dengan regulasi baru, menjadikan ISBN di Indonesia benar-benar diperuntukkan sesuai tujuan.