Membaca buku puisi “PENA KARLANA BICARA” adalah semacam pamflet empu karya mengurai kata-kata yang lugas, dan tak harus juga puisi itu selalu berbungkus majas. Membangun suatu diksi untuk sebuah puisi sama seperti seduhan rasa di secangkir sarapan pagi, ada gula, kopi, air, sendok dan wadah. Pada buku puisi Pak Haji Karlana ini, sebentuk perjalanan dan estafet. Pembaca diajak jeli dari rentetan 111 puisi yang disusun. Di dalam buku ini ada puisi-puisi religi, derai-derai rindu yang syahdu. Lebih menarik lagi, Pak Haji menuangkan puisi semacam alegori. Bagaimana ia merasakan gejolak perkembangan ranah politik sedari dulu, bahkan ia pernah tampil sebagai sosok dan saksi, ikut berpartisipasi untuk laju negeri ini. Salah satu puisinya yang mensatire “Katanya Negara Ini Kaya” puisi Pena Karlana itu bicara tentang bagaimana bobroknya mental para pejabat meraup pundi-pundi demi memperkaya diri karena memperkosa isi alam nusantara ini. Teruslah berkarya Pak Haji! Torehkan terus catatan-catatan satire, religi, dan sosial di
tajamnya pena literasi. John F. Kennedy pernah berkata: Jika politik itu kotor, maka puisi membasuhnya.
Romy Sastra,
penyair dan pegiat puisi berdomisili Jakarta